Masapenyusunan Al-qurâan memang telah ada pada masa Khalifah Abu Bakar atas usulan Umar Bin Khaththab yang kemudian disimpan ditangan istri Nabi Hafsah binti Umar. Umar ibnu Abdul Aziz . 717-720 M. 9. Yazid ibnu Abdul Malik . 720-824 M. 10. Hisyam ibnu Abdul Malik Dalam bidang hadist ini, Umar bin Abd Aziz secara khusus memerintahkan
2 Penyebab Kedua adalah banyaknya beredar Hadist-hadist palsu sehingga perlunya kodifikasi hadist yang mulai dilaksanakan secara perdana dan massal pada masa pemerintahan Khalifah Umar Ibn Abdil Aziz. Yang mereka hanya memperkuat eksistensi golongan dan ras mereka saja.
Sementaraitu, perhatian terhadap al-Hadits tidaklah demikian, hal itu karena adanya larangan Nabi terhadap penulisan selain al-Qurâan. Upaya kodifikasi al-Hadits secara resmi baru dilakukan pada masa pemerintahan Umar bin Abdul Aziz salah satu dari khalifah Bani Umayyah yang memerintah antara tahun 99-101 H, waktu yang relatif jauh dari masa Rasulullah saw.
Ketikakekhalifahan di pegang oleh Umar bin Abdul Aziz (99-101 H) seorang khalifah dinasti umayyah yang adil dan waraâ memerintahkan kepada para ilmuan terkhusus di bidang hadis dan pusat ilmu hadis di masa itu untuk 10 Hamnah, hlm. 57. 11 Abdul Aziz Asy-Syinawi, Biografi Imam Malik, hm. 256â264. 12 Abdul Aziz Asy-Syinawi, hlm. 270.
Padamasa khalifah âUmar bin âAbdul âAzĂŽz (99-101 H), khalifah kedelapan dari dinasti bani Umaiyah, ia menginstruksikan kepada sejumlah ulama seperti âAbu Bakr bin Muhammad bin Amr bin Hazm, gubernur Madinah, (w. 117 H) dan Muhammad bin Syihâb az-ZuhrĂŽ (w. 124 H) untuk mengumpulkan hadis-hadis Nabi dari para penghafalnya.
rC240. ďťżNama lengkapnya adalah Abu Hafsh Umar bin Abdul Aziz bin Marwan bin al-Hakam bin Abil Ash bin Umayyah bin Abdi Syams bin Abdi Manaf bin Qushai bin Kilab, al-Quraisy al-Madani. Beliau lahir pada tahun 61 H dan wafat pada 101 H. Ayahnya, yaitu Abdul Aziz bin Marwan, merupakan seorang yang pernah menjabat pemimpin kota Mesir selama kurang lebih sekitar 20 tahun dan di sana pula Umar lahir, tepatnya di Halwan. Abdul Aziz adalah seorang yang cinta pada hadis-hadis Rasulullah. Dia sering hadir di majelis Abu Hurairah dan para sahabat lain. Sedangkan ibu beliau adalah Ummu Ashim binti Ashim bin Umar bin Khathab. Umar bin Abdul Aziz biasa dikenal juga dengan sebutan Umar II. Umar bin Abdul Aziz, Keturunan Umar bin Khathab Menurut sebagian sumber, pada masa ketika Umar bin Khathab menjadi khalifah, dia sering ronda pada malam hari. Khalifah Umar sangat terkenal dengan kegiatannya ronda pada malam hari di sekitar daerah kekuasaannya. Pada suatu malam beliau mendengar dialog seorang anak perempuan dan ibunya yang berasal dari bani Hilal, seorang penjual susu yang miskin. âWahai anakku, bersegeralah kita tambah air dalam susu ini supaya terlihat banyak sebelum terbit matahari.âAnaknya menjawab, âKita tidak boleh berbuat seperti itu ibu, Amirul Mukminin melarang kita berbuat begini.â Si ibu masih mendesak, âTidak mengapa, Amirul Mukminin tidak akan tahu.â Balas si anak, âJika Amirul Mukminin tidak tahu, tapi Tuhan Amirul Mukminin tahu.â Umar yang mendengar kemudian menangis. Betapa mulianya hati anak gadis itu. Lalu Umar meminta pembantunya Aslam untuk menandai tempat dia mendengar percakapan antara ibu dan putrinya tersebut. Kemudian keesokan harinya, perempuan dan putrinya itu dicari dan ternyata sang ibu adalah seorang janda dan putrinya masih gadis. Melihat hal ini, Umar bin Khathab kemudian mengumpulkan putra-putranya dan mengatakan, âSiapa di antara kalian yang mau menikahi gadis tersebut? Demi Allah, bila aku masih tertarik kepada perempuan maka tentu aku tidak akan mengusulkannya pada orang lain.â Lalu Ashim berkata, âNikahkan dia denganku, karena hanya aku yang masih bujang.â Kata Umar, âSemoga lahir dari keturunan gadis ini bakal pemimpin Islam yang hebat kelak yang akan memimpin orang-orang Arab dan Ajam.â Asim segera menikahi gadis miskin tersebut. Pernikahan ini melahirkan anak perempuan bernama Laila yang lebih dikenal dengan sebutan Ummu Ashim. Ketika dewasa, Ummu Asim menikah dengan Abdul-Aziz bin Marwan yang melahirkan Umar bin Abdul-Aziz. Jadi Umar bin Khathab adalah mbah buyut Umar bin Abdul Aziz dari jalur ibunya. Masa Kecil dan Keluarga Umar bin Abdul Aziz Saat masih kecil Umar mendapat kecelakaan, tanpa sengaja seekor kuda jantan menendangnya dan keningnya robek. Semua orang panik dan menangis, kecuali Abdul Aziz seketika tersentak dan tersenyum seraya mengobati luka Umar kecil, dia berujar kepada istrinya, âBergembiralah engkau, wahai Ummu Ashim. Mimpi Umar bin Khathab insya Allah terwujud, dialah anak dari keturunan Umayyah yang akan memperbaiki bangsa ini.â Pada masa bujangnya, beliau lebih mengutamakan ilmu dari menyibukkan urusan kekuasaan dan jabatan. Tak heran jika ia telah hafal Al-Qurâan di masa kecilnya. Kemudian dia meminta kepada ayahnya agar mengizinkannya untuk melakukan rihlah perjalanan jauh dalam thalabul ilmi menuntut ilmu menuju Madinah. Di sana dia belajar agama menimba ilmu akhlak dan adab kepada para fuqoha Madinah. Di Madinah dia belajar kepada Abdullah bin Umar bin Khathab dan Anas bin Malik, dan di sanalah pula beliau dikenal dengan ilmu dan kecerdasannya. Di Madinah, Umar bin Abdul Aziz juga belajar pada salah satu dari tujuh ahli fikih Madinah, yakni Ubaidullah bin Abdullah bin Utbah bin Masâud. Dia belajar dari Shalih bin Kaisan, salah seorang tabiin senior, yang memang ditugasi Abdul Aziz agar mengajari dan mendidik Umar. Setelah ayahanda meninggal dunia, Umar diminta untuk tinggal bersama pamannya yaitu Abdul Malik bin Marwan, bahkan ia dinikahkan dengan putrinya yaitu Fathimah binti Abdul Malik bin Marwan. Umar bin Abdul Aziz mempunyai empat belas anak laki-laki, di antara mereka adalah Abdul Malik, Abdul Aziz, Abdullah, Ibrahim, Ishaq, Yaâqub, Bakar, Al-Walid, Musa, Ashim, Yazid, Zaban, Abdullah, serta tiga anak perempuan, Aminah, Ummu Ammar dan Ummu Abdillah. Beliau memiliki tiga istri. Sebelum menjadi khalifah, Umar bin Abdul Aziz sempat menempati posisi strategis. Di antaranya pada tahun 706 M ketika berumur 25 tahun dia diangkat sebagai gubernur Madinah setelah ayah mertuanya meninggal. Beliau menjadi gubernur Madinah sekitar 7 tahun. Umar sangat adil dalam memerintah, beliau juga membentuk satu dewan penasihat. Umar pernah diangkat menjadi katib sekretaris bahkan wazir pada masa Sulaiman bin Abdul Malik. Umar dikenal sebagai orang yang zuhud, rendah hati, waraâ, takut kepada Allah. Dedikasi Khalifah Pecinta Hadis Umar sangat mencintai hadis-hadis Nabi saw. Penulisan hadis secara besar-besaran bermula pada kekhalifahan Umar bin Abdul Aziz, dalam artian bahwa sebelum masa ini hadis lebih banyak dihafal daripada ditulis dalam catatan-catatan sederhana. Mulai pada masa Umar bin Abdul Aziz inilah seorang ulamaâ bernama az-Zuhri diperintah untuk menulis hadis secara lengkap dan dibukukan secara metodologis. Upaya para pendahulunya dengan ditulisnya hadis dalam sahifah hanya merupakan usaha individual sederhana yang mencakup hadis-hadis yang didapat dari rasul atau sahabat yang belum terkodifikasi secara beraturan. Ketika Umar bin Abdul Aziz menjabat sebagai khalifah pada tahun 99 H, Umar memerintahkan para ulama hadis untuk mencari hadis nabi. Umar sangat waspada dan sadar, bahwa para perawi yang mengumpulkan hadis dalam ingatannya semakin sedikit jumlahnya karena meninggal dunia. Beliau khawatir apabila tidak segera dikumpulkan dan dibukukan dalam buku-buku hadis dari para perawinya, mungkin hadis-hadis itu akan lenyap bersama lenyapnya para penghafalnya. Maka tergeraklah dalam hatinya untuk mengumpulkan hadis-hadis Nabi dari para penghafal yang masih hidup. Pada tahun 100 H, Khalifah Umar bin Abdul Azis memerintahkah kepada gubernur Madinah, Abu Bakar bin Muhammad bin Amr bin Hazm agar membukukan hadis-hadis Nabi yang terdapat pada para penghafal. Di samping kepada gubernur Madinah, Khalifah juga menulis surat kepada gubernur lain agar mengusahakan pembukuan hadis. Khalifah juga secara khusus menulis surat kepada Abu Bakar Muhammad bin Muslim bin Ubaidillah bin Syihab Al-Zuhri. Editor Shidqi Mukhtasor
â Sebagai umat Islam mengetahui hal-hal yang berkaitan dengan sejarah Islam adalah yang wajar dan sangat baik, terutama tentang sejarah kodifikasi hadits. Banyak sekali umat Islam yang belajar hadits dan ulumul hadits, akan tetapi jarang mereka mengkaji sejarah pembukuannya. Oleh sebab itu, pada kesempatan kali ini penulis akan memaparkan tentang sejarah kodifikasi hadits Pembukuan hadits. Disusun oleh Muhammad Nasikhul Abid 19204010129Mahasiswa S2 Program studi Pendidikan Agama Islam UIN Sunan Kalijaga YogyakartaTugas Mata Kuliah Studi Hadits dalam Perspektif Pendidikan Islam Dosen Pengampu Prof. Dr. Hj. Marhumah, Pengertian Kodifikasi Hadits Kata kodifikasi dalam bahasa Arab dikenal dengan istilah tadwin yang merupakan bentuk masdar dari dawwana, yudawwinu, tadwiinan yang berarti pembukuan. Pembukuan adalah mengumpulkan sesuatu yang tertulis dari lembaran-lembaran dan hafalan yang ada di dalam dada, kemudian menyusunnya hingga menjadi satu kitab.[1] Jadi kodifikasi berbeda dengan menulis, karena menulis belum tentu disusun menjadi buku, sedangkan kodifikasi tulisan yang telah dibukukan. Baca juga Keutamaan Shalat Dhuha Menurut Hadits Shahih Faktor-faktor Kodifikasi Hadits Upaya pembukuan hadits secara resmi ini dilatar belakangi oleh beberapa faktor, di antaranya Al-Qurâan telah dibukukan dan tersebar luas, sehingga tidak dikhawatirkan lagi akan bercampur dengan hadits. Para perawi hadits telah banyak yang meninggal. Jika hadits tidak segera ditulis dan dibukukan, maka lama kelamaan hadits akan hilang bersama dengan meninggalnya perawi hadits. Daerah kekuasaan Islam semakin luas dan peristiwa-peristiwa umat Islam semakin kompleks, sehingga memerlukan petunjuk dari hadits sebagai sumber agama. Pemalsuan hadits semakin merajalela. Jika kejadian tersebut dibiarkan, maka akan mengancam kemurnian dan kelestarian hadits.[2] Download Buku Telaah Kritis atas Doktrin Faham Wahabi/ Salafi Sejarah Kodifikasi Pembukuan Hadits Secara resmi, kodifikasi hadits dilakukan dan dimulai pada masa Dinasti Umayyah yang dipimpin oleh Umar bin Abdul Aziz, seorang khalifah yang terkenal adil dan waraâ hingga beliau disebut sebagai khalifah Rasyidin yang ke lima. Beliau menetapkan dan memerintah ulama-ulama pada masanya untuk melakukan kodifikasi hadits disebabkan karena kesadaran beliau atas banyaknya para perawi hadits semakin lama banyak yang meninggal. Sehingga beliau khawatir jika hadits tidak segera dibukukan maka akan hilang dan lenyap.[3] Di bawah ini akan dijelaskan 7 periode sejarah kodifikasi hadits, sebagai berikut Periode pertama adalah periode pada zaman Rasulullah SAW. Pada periode ini dikenal dengan masa turunnya wahyu dan pembentukan masyarakat Islam.[4] Sehingga pada awal-awal kemajuan Islam Rasulullah SAW melarang para shahabatnya untuk menulis hadits, karena disamping akan bercampurnya hadits dengan Al-Qurâan juga agar umat Islam lebih fokus pada Al-Qurâan.[5] Akan tetapi dengan berjalannya waktu tidak sedikit di antara para shahabat banyak yang berinisiatif menulis hadits-hadits Nabi SAW. Hal tersebut dikarenakan selain melarang, Rasulullah di lain waktu juga membolehkan para shahabatnya untuk menulis hadits. Sehingga banyak di antara para shahabat yang memiliki shahifah hadits, di antaranya Abdullah bin Amr bin Ash, Jabir bin Abdullah Al-Anshari, Abdullah bin Abi Aufa, Samurah bin Jundab, Ali bin Abi Thalib, Abdullah bin Abbas, dan Abu Bakar Ash-Shiddiq.[6] Periode kedua adalah dimulai pada zaman Khulafa Ar-Rasyidin. Pada periode ini dikenal dengan masa pembatasan atau pengurangan dalam periwayatan hadits Nabi SAW sebagai bentuk kehati-hatian. Usaha para shahabat dalam membatasi periwayatan hadits dilatar belakangi oleh rasa khawatir akan terjadinya kekeliruan. Hal ini dikarenakan suasana pada waktu itu tidak kondusif, bahkan terjadi perpecahan dan fitnah di dalam umat Islam itu sendiri,[7] di antaranya munculnya nabi palsu, terbunuhnya Umar, Usman, dan Ali, banyak shahabat yang tidak suka kepada Usman, munculnya Syiâah, dll. Sehingga para shahabat sangat berhati-hati dalam menerima kegiatan periwayatan hadits. Para shahabat pada periode ini meriwayatkan hadits melalui dua cara, yaitu bilafdzi dan bilmakna.[8] Periode ketiga adalah masa penyebaran hadits ke berbagai wilayah. Periode ini berlangsung pada masa shahabat kecil/ muda dan tabiâin atau pada masa Dinasti Muawwiyah sampai pada akhir abad 1 Hijriyah. Pada masa ini wilayah Islam sudah sampai ke Syam Suriah, Irak, Mesir, Persia, Samarkand, hingga Spanyol. Bertambahnya wilayah Islam berdampak pada tersebarnya hadits di dalamnya.[9] Periode Keempat adalah Periode penulisan dan pembukuan hadits secara resmi. Penulisan dan pembukuan hadits ini dimulai setelah adanya perintah resmi dari Khalifah Umar bin Abdul Aziz 717 â 720 M. Perintah resmi tersebut sebagai instruksi langsung dari Umar untuk seorang Ulama yang bernama Abu Bakar Muhammad Amr bin Hazm Ibnu Shihab Az-Zuhri yang menjabat sebagai Gubernur Madinah agar menuliskan hadits Nabi Muhammad SAW.[10] Latar belakang Umar bin Abdul Aziz menginstruksikan agar mengkodifikasi hadist adalah karena kekhawatiran akan hilangnya hadits seiring meninggalnya para perawi hadits dan khawatir akan bercampurnya hadits Nabi SAW dengan hadits palsu. Pengkodifikasian hadits ini berlangsung hingga pemerintahan Bani Abbasiyah tepatnya pada pertengahan awal abad ke III H. Pada periode ini banyak melahirkan ulama hadits, seperti Ibnu Juraij w. 179 H di Makkah, Ibnu Shihab Az-Zuhri w. 124 H, Ali Ishaq w. 151 H dan Imam Malik w. 179 H di Madinah, Ar-Rabiâ bin Shihab w. 160 H dan Abdurrahman Al-Auzaâi w. 156 H di Suriah.[11] Selain itu juga termasuk imam Syafiâi w. 204 H di Mesir dan Imam Ahmad bin Hanbal w. 241 H di Baghdad.[12] Pada periode ini juga menghasilkan karya kitab-kitab hadits, di antaranya Al-Musnad Imam Syafiâi, Al-Mushanaf Imam Al-Auzaâi, dan Al-Muwaththaâ Imam Malik, termasuk juga Al-Musnad Imam Ahmad. Dan kitab hadits pada periode ini masih bercampur dengan fatwa shahabat, tabiâin, hingga hadits palsu karena belum ada penyeleksian secara penuh.[13] Periode kelima adalah periode pemurnian, penyehatan, dan penyempurnaan. Periode ini berangsung sekitar pertengah awal abad ke III Hijriyah, atau tepatnya pada masa Dinasti Abbasiyah yang dipimpin oleh Khalifah Al-Maâmun sampai Al-Muâtadir.[14] Periode ini ulama-ulama mengadakan gerakan penyeleksian, penyaringan, dan pengklasifikasian hadits, yakni memisahkan hadits yang marfuâ dari hadits mauquf dan maqtuâ. Pada periode ini lahirlah kitab induk hadits Kutubus Sittah, di antaranya Al-Jamiâ Ash-Shahih karya Imam Al-Bukhari 194 â 252 H Al-Jamiâ Ash-Shahih karya Imam Muslim 204 â 261 H Sunan Abu Dawud karya Abu Dawud 202 â 261 H Sunan At-Tirmidzi karya At-Tirmidzi 200 â 279 H Sunan An-Nasaâi karya An-Nasaâi 215 â 302 H Sunan Ibnu Majah karya Ibnu Majah 207 â 273 H[15] Periode keenam adalah masa pemeliharaan, penerbitan, penambahan, dan penghimpunan. Periode ini berlangsung 2 setengah abad, mulai dari abad IV sampai pertengahan abad ke VII Hijriyah, tepatnya pada saat Dinasti Abbasiyah jatuh ke tangan Hulagu Khan pada tahun 656 H. Periode ini tidak jauh berbeda dengan periode kelima, sehingga periode ini juga melahirkan banyak ulama dan kitab hadits, di antaranya Sulaiman bin Ahmad At-Thabari, karyanya Al-Muâjam Al-Kabir, Al-Muâjam Al-Ausath, Al-Muâjam Ash-Shaghir. Abdul Hasan Ali bin Umar bin Ahmad Ad-Daruquthni, karyanya Sunan Daruquthni. Ibnu Huzaimah Muhammad bin Ishaq, karyanya Shahih Ibnu Huzaimah. Abu Bakar Ahmad bin Husain Ali Al-Baihaqi, karyanya Sunan Al-Kubra. Asy-Syaukani, karyanya Nailul Authar. Muhyiddin Abu Zakaria An-Nawawi, karyanya Riyadhush Shalihin, dll.[16] Periode Ketujuh adalah periode pensyarahan, penghimpunan, dan pentakhrijan. Pada periode ini ulama mulai mensistemasi hadits-hadits berdasarkan kehendak penyusun, memperbaharui kitab-kitab mustkharij dengan cara membagi-bagi hadits menurut kualitasnya. Para periode ini hanya sedikit ulama hadits yang masih mampu menyampaikan periwayatan hadits beserta sanadnya secara hapalan yang sempurna, di antaranya ulama yang masih menyampaikan hadits secara hapalan sempurna adalah Imam Al-Iraqy w. 806 H, Ibnu Hajar Al-Asqalani w. 852 H, As-Sakhawy w. 902 H.[17] Ketiganya mempunyai hubungan sebagai guru dan murid. Footnote [1] Mannaâ Al-Qaththan, Mabahis fi Ulum Al-Hadits, Kairo Maktabah Wahbah, Cet. ke-II, 1994, hlm. 33. [2] Munzier Suparta, Ilmu Hadits, Jakarta Rajawali Pers, Cet. ke-7, 2010, hlm. 88. [3] Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Qurâan dan Tafsir, SemarangPustaka Rizki Putra, 2009, Ed. 3, [4] Muhajirin, Ulumul Hadits II, Palembang NoerFikri Offset, 2016, hlm. 18. [5] Atang Abdul Hakim, Metodologi Studi Islam, Bandung Remaja Rosdakarya, 2003, hlm. 89. [6] Muhajirin, Ulumul Hadits II, Palembang NoerFikri Offset, 2016, hlm. 19. [7] Atang Abdul Hakim, Metodologi Studi Islam, Bandung Remaja Rosdakarya, 2003, hlm. 90. [8] Muhajirin, Ulumul Hadits II, Palembang NoerFikri Offset, 2016, hlm. 20. [9] Ibid., hlm. 20 [10] Munzier Suparta, Ilmu Hadits, Jakarta Rajawali Pers, Cet. ke-7, 2010, hlm. 75. [11] Ibid., hlm. 91. [12] Muhajirin, Ulumul Hadits II, Palembang NoerFikri Offset, 2016, hlm. 20-21. [13] Ibid., hlm. 21. [14] Abudin Nata, Al-Qurâan dan Hadits, Jakarta LISK, 2000, hlm. 197. [15] Muhajirin, Ulumul Hadits II, Palembang NoerFikri Offset, 2016, hlm. 21. [16] Ibid., hlm. 22-23. [17] Fathur Rahman, Ikhtishar Musthalahul Hadits, Bandung Al-Maâarif, 1974, hlm. 296. Daftar Pustaka Abdul Hakim, Atang. 2003. Metodologi Studi Islam. Bandung Remaja Rosdakarya. Al-Qaththan, Mannaâ. 1994. Mabahis fi Ulum Al-Hadits. Kairo Maktabah Wahbah, Cet. ke-II. Hasbi Ash-Shiddieqy, 2009. Muhammad. Sejarah dan Pengantar Ilmu Qurâan dan Tafsir. SemarangPustaka Rizki Putra, Ed. 3. Muhajirin. 2016. Ulumul Hadits II, Palembang NoerFikri Offset. Nata, Abudin. 2000. Al-Qurâan dan Hadits. Jakarta LISK. Rahman, Fathur. 1974. Ikhtishar Musthalahul Hadits. Bandung Al-Maâarif. Suparta, Munzier. 2010. Ilmu Hadits. Jakarta Rajawali Pers, Cet. ke-7.
S S Se ej a r ra a h h K K Ke b bu u d da a y y y a a a an I sl a am m m K Kur iik u ul um m 2 13 23 MENGAMATI Setelah mengamati nilai-nilai karakter di atas dapat disimpulkan bahwa kedisplinandan istiqamah adalah sikaf yang sangat penting dalam sebuah pemerintahan. MARI BERTANYA Setelah mengamati kasus tersebut di atas, maka apa yang dapat dituliskan ? - - - - TAMBAH WAWASAN 1. PROSES KODIFIKASI HADIS MASA KHALIFAH UMAR BIN ABDUL AZIZ Pengumpulan dan penyempurnaan hadis terjadi pada masa pemerintahan khalifah ke- Bani Umayyah, Umar bin Abdul Aziz tahun â . Khalifah Umar menginstruksikan kepada gubernur Madinah yang memerintah pada waktu itu agar segera mengumumkan pada masyarakat umum tentang gerakan penghimpunan dan penyempurnaan hadis. Kebijakan tersebut dilakukan oleh khalifah Umar karena kondisi di lapangan, hadis telah diselewengkan dan telah bercampur aduk dengan ucapan-ucapan israiliyat, hadis difungsikan untuk menguatkan kedudukan kelompok-kelompok tertentu seperti, Bani Umayyah, kelompok khawarij dan kelompok syiah yang saling berebut membuat hadis-hadis untuk menguatkan Di unduh dari B B B u u u k k k u u u u u S S i s s s w w w w a w a K K e e e e l a s X X I 24 eksistensi kelompok masing-masing. Setelah perintah dari gubernur Madinah atas instruksi dari khalifah Umar bin Abdul Aziz, maka berangkatlah sahabat-sahabat nabi dan beberapa thabiin untuk mencari dan menyeleksi hadis-hadis nabi. mam- imam hadis berjuang dngan sungguh-sungguh, sabar dan istiqamah di dalam mencari dan melacak sebuah hadis. Mereka mengembara sampai di wilayah- wilayah yang setelah mengetahui bahwa ada sumber hadis di wilayah tersebut. Berhari-hari, berminggu-minggu, berbulanâbulan bahkan betahun-tahun mereka dengan sabar mencari dan mengejar informasi tentang keberadan sebuah hadis. mam-imam hadis yang sangat terkenal seperti Bukhari, Muslim, Nasai, Turmizi, Ahmad bin ambal dan Daruqutni. Mereka ini yang dengan serius meluangkan waktunya mencari, melacak dan selanjutnya menyeleksi dan menghimpun hadis. Dengan upaya keras dari para imam-imam hadis ini, maka jadilah kitab- kitab hadis yang sering kita baca sebagai rujukan. 2. PROSES PERKEMBANGAN ILMU PENGETAHUAN MASA BANI UMAYYAH I Perkembangan ilmu pengetahuan pada zaman permulaan slam termasuk masa Bani Umayyah meliputi bidang yaitu bidang Diniyah, bidang Tarikh dan bidang Filsafat. Pembesar Bani Umayyah tidak berupaya untuk mengembangkan peradaban lainnya. Akan tetapi Bani Umayyah secara khusus menyediakan dana tertentu untuk pengembangan ilmu pengetahuan, para khalifah mengangkat ahli-ahli cerita dan mempekerjakan mereka dalam lembaga-lembaga ilmu berupa masjid-masjid dan lembaga lainnya yang disediakan oleh pemerintah. Kebijakan ini mungkin karena didorong oleh beberapa hal . Pemerintah Bani Umayyah dibina atas dasar kekerasan karena itu mereka membutuhkan ahli syair, tukang kisah dan ahli pidato untuk bercerita menghibur para khalifah dan pembesar istana. . Jiwa Bani Umayyah adalah jiwa Arab murni yang belum begitu berkenalan dengan ilsafat dan tidak begitu serasi dengan pembahasan agama yang mendalam. Mereka merasa senang dan nikmat dengan syair-syair yang indah dan khutbah-khutbah balighah berbahasa indah . Para ahli sejarah menyimpulkan bahwa perkembangan gerakan ilmu pengetahuan dan budaya pada masa Bani Umaiyyah memfokuskan pada tiga gerakan besar yaitu; a Gerakan ilmu agama, karena didorong oleh semangat agama yang sangat kuat pada saat itu. Di unduh dari S S Se ej a r ra a h h K K Ke b bu u d da a y y y a a a an I sl a am m m K Kur iik u ul um m 2 13 25 b Gerakan ilsafat, karena ahli agama diakhir daulah Umayyah terpaksa menggunakan ilsafat untuk menghadapi kaum Nasrani dan Yahudi. c Gerakan sejarah, karena ilmu-ilmu agama memerlukan riwayat. 3. PERADABAN YANG TUMBUH PADA MASA BANI UMAYYAH I
Proses kodifikasi haditsKodifikasi hadist resmi di prasakasa para penguasa, ide penghimpunan hadistsecara tertulis untuk pertama kalinya dikemukakan oleh Khalifah Umar Bin Khattab,namun ide tersebut tidak dilaksanakan karena dikhawatirkan umat islam terganggudalam mempelajari dan membukukan Al Qurâan. Barulah Pembukuan Kodifikasi hadist secara resmi terjadi pada abad ke IIHijriyyah pada masa Khalifah Umar bi Abdul aziz, Khalifah dari Bani umayyah thn91-101, beliau sadar dan sangat waspada semakin sedikitnya perawi hadist, beliaukhawatir jika tidak segera dibukukan maka hadist nabi akan menghilang seiringwafatnya para perawi 1. Pengumpulan Haditsa Pada masa pertama, Pada tahun 100 H, sang khalifah memerintahkan kepada para gubernurMadinah, Abu Bakar bin Muhammad bin Amer bin Hazm untuk membukukanhadist-hadist dari bin Abdul Aziz menulis surat kepada gubernur, yaitu âperhatikanlahapa yang dapat diperoleh dari hadist rasul, lalu tulislah karena aku takut akanlenyap ilmu disebabkan meninggalnya para ulama, dan jangan diterima selainhadist Rasul SAW, dan hentikanlah disebarluakan ilmu dan diadakan majelis-majelis ilmu supaya orang yang tidak mengetahuinya dapat mengetahuinya, makasesungguhnya ilmu itu dirahasiakan.â Selain kepada gubernur Madinah, Khalifahjuga menulis surat kepada gubernur lain supaya mengusahakan pembukuanhadist. Khalifah juga secara menulis surat kepada Abu Bakar Muhammad binMuslim bin Abaidilllah bin Syihab az-Zuhri. Kemudian Syihab azZuhri mulaimelaksanakan perintah khalifah tersebut sehingga menjadi salah satu ulama yangpertama kali membukukan Pada masa kedua,1 Ibid, hlm 602 Hasan Sulaiman., dkk., Terjemah Ibanatul Ahkam Syarah Bulughul Maram, Surabaya Muçć¤araIlmu, 1995, hlm. Xiv1
PERAN UMAR IBN ABDUL AZIZ DALAM KODIFIKASI HADIS Abstract Hadis merupakan sumber Hukum Islam kedua setelah Al-Qurâan. Oleh karena hadis menduduki peringkat kedua setelah Al-Qurâan, maka suatu keharusan bagi kaum muslimin untuk mepelajarinya. Tanpa mengenal hadis, rasanya sulit untuk memahami ilmu-ilmu keislaman. Hadis bukanlah hal yang baru bagi masyarakat Islam masa kini, karena semenjak Muhammad saw dikenal dengan nama hadis. Hadis tidak lain adalah segala yang dinukilkan pada Rasulullah baik perkataan, perbuatan, takrir dan hal-ikhwalnya. Namun yang menarik adalah kenapa hadis ini baru dihimpun dikodifikasikan secara resmi pada masa khalifah Umar ibn Abdul Aziz -khalifah Ummayyah kedelapan-? Apa sebelum masa Umar ibn Abdul Aziz tidak ada usaha untuk mengkodifikasikan hadis. Dalam tulisan singkat ini akan dibahas bagaimana peran khalifah Umar ibn Abdul Aziz dalam kodifikasi hadis. Namun terlebih dahulu akan dibahas pengertian kodifikasi dan bagaimana penulisan hadis pada masa Nabi. Refbacks There are currently no refbacks.
proses kodifikasi hadis masa khalifah umar bin abdul aziz